I LOVE YOU, BUT I'M LETTING YOU GO


 

Hai kamu, 

Ini surat terbuka untukmu, meski begitu, yakinlah kau tidak akan pernah membaca tulisan ini. Izinkanlah aku merunut pada apa-apa yang hendak kusampaikan untukmu; segalanya. Tentang bagaimana aku menjatuhkan hati padamu, bagaimana aku merindukanmu, dan aku yang masih dilanda kebingungan mencari jalan keluar dari cinta platonik ini.

Sesungguhnya, aku memulai kisah ini sejak lama. Entah tujuh atau enam tahun lalu. Hanya gara-gara kau menjadi imam sholat magrib petang itu. Sungguh, kala itu, aku langsung menanyakan apakah kiranya imam bersuara lembut itu sudah menikah. Dan ya, kala itu pun kau sudah beristri. Maka, kisah itu kupikir telah kututup rapat.

Pada tahun berikutnya sesungguhnya kau dan aku pernah mengerjakan proyek bersama. Interaksi kala itu sepertinya terbatas hingga aku hanya seperlunya saja denganmu. Tentu saja karena aku tahu; engkau berpunya. 

Hanya saja hal berbeda dimulai pada akhir tahun lalu. Pada proyek sama yang selalu kita koordinasikan bersama, entah sejak kapan perasaan itu muncul. Apakah ketika hampir tengah malam itu kala kau menghentikan langkahku di kegelapan meminta untuk berjalan bersama? Atau kala kau menunjukkan jalan menuju pasar swalayan kala waktu istirahat di sebuah lokakarya? Atau kala kau menendang kecil kursiku untuk memastikan angka yang tepat untuk proyek yang kita kerjakan? Atau ketika aku menemukan bahwa kau melakukan check in online hanya untukku meski ada dua orang lainnya pada kode booking yang sama?

Di antara alasan-alasan itu, sesungguhnya hatiku jatuh padamu dalam perbincangan kala sarapan pagi. Deretan alasan-alasan di atas hanyalah kunci-kunci yang membuka pintu pertahananku-yang kupikir sudah terkunci dengan seribu kunci.

Tahukah engkau bahwa sarapan pagi itu mengubah segala cara pandangku tentangmu? Kau tidak sedang berpidato, tapi kau mendulang seorang pengagum; aku. 

Tahukah engkau waktu sarapan pagi itu, kala engkau berbicara dan mataku menatapmu lekat, dalam hatiku sesungguhnya berujar, "Tuhan, jika aku diminta mendeskripsikan seperti apa lelaki yang kumau? Maka ia-lah orangnya". Padahal engkau sedang bertukar pikiran, bukan sedang berorasi. Pun tidak sedang mempromosikan dirimu.

Kau sungguh berbahaya. Pada detik itu, aku terlena. Kau genggam hatiku tanpa kau tahu.

Pada kekagumanku untuk lelaki lain, tak kuletakkan hatiku di sana. Bagaimana bisa meletakkkan hati yang sudah kuserahkan dalam genggamanmu? Maka, ketika engkau menyampaikan pesan langsung malam itu; hatiku sedikit bersorak. Ya, karena aku memang menginginkannya. Jika kau tahu, bahwa tujuan utamaku membagikan video itu bukan untuk memuja lelaki yang santun itu, namun untuk mengujimu. Selicik itu diriku untuk mengetahui perasaanmu.

Dan, pada setiap kata-katamu dalam pesan itu, aku kembali terhanyut. Sungguh, kau berbahaya.

Sejak kusadari perasaanku padamu, kugambarkan dirimu untuk menjawab setiap pertanyaan lelaki seperti apa yang kuinginkan menjadi pendamping hidupku kelak. Ya, sepertimu. Bahkan dalam doa, aku meminta seseorang yang serupa dirimu. 

Lalu, pada setiap permintaan resumeku, pembaruan status atau IG story yang kau lihat, ada rindu yang kusisipkan di situ. Hanya ingin menyapa. Ingin melepas rindu yang menyesakkan. Semua itu omong kosong. Jika kata rindu bisa terucap, maka aku akan teriakkan betapa aku rindu pada perbincangan kita. Aku gila!

Akhirnya, pada kebodohanmu beralasan atas segelas kopi, aku menjadi takut dan memutuskan untuk berhenti. Berhenti untuk mendekatimu. Berhenti untuk menarik perhatianmu. Dan agar kebodohan tidak lagi datang pada kau dan aku. Agar kau dan aku menjalani hidup normal seperti biasa, meski takkan mungkin menjalani hidup yang sama seperti sebelum kujatuhkan hati padamu.

Kukatakan pada semua bahwa aku padamu, meski takkan pernah kukatakan padamu. Kulakukan agar dunia membangunkanku dari ketidakwarasanku. Kukatakan agar dunia menghentikanku karena aku mungkin saja berkata cinta padamu. 

Dalam pandanganku, kita sudah tidak baik-baik saja. Ya, kita; kau dan aku. Maka aku memutuskan untuk melepasmu. Sungguh, kau orang baik di saat yang tidak pernah tepat.

Menyakitkan melepaskan seseorang yang masih penuh seluruh kau sayangi, kau tahu? Tapi sakit ini harus kulalui untuk menjagamu. Menjaga dari fitnahku sebagai seorang wanita. Menjagaku untuk terhindar dari harapan-harapan kosong. 

Aku kerap berpikir, jika kau tahu, barangkali kau akan menepis semua dan mengatakan bahwa aku hanya hanyut dalam rasa dan termakan pada kebaikanmu yang memang kau lakukan untuk setiap orang. Dan hal yang paling pasti; kau punya 'rumah' untuk tempatmu kembali; istri dan anak-anakmu. Biar bagaimana pun kau akan kembali mereka.

Kau tahu? Mereka menjadi alasan terkuatku melepasmu. Karena aku berdoa agar kebahagiaanku jangan sampai menjadi duka bagi orang lain. 

Sejak dulu, kau memang tidak pernah tertulis untukku apalagi saat ini. Tidak ada yang akan berubah; kau tetaplah lelaki yang tepat di waktu yang salah. 

Aku tak ingin berandai. Aku ingin menerima dan ridho akan takdir yang masih belum kutahu apa maksudnya. 

Please be happy with your family. May Allah always bless you.

Mari berbahagia pada jalan bahagia masing-masing.

I love you, but I'm letting you go.



LA/27052022

Komentar

Postingan Populer