Hentikan Pernikahan Anak Melalui Jalur Hukum
“Pernikahan
anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia, tetapi terlalu sering terjadi.”
(UNICEF)
Tahukah Anda bahwa sekitar
sekitar 23 juta atau sekitar 27,6% orang Indonesia menikah ketika masih dalam
usia anak-anak? Dengan angka statistik tersebut, Indonesia menempati urutan
ke-7 angka pernikahan anak di dunia dan menempati urutan ke-2 di ASEAN setelah
Kamboja.Sebuah prestasi atau justru kenyataan yang miris?
Dalam
laporan yang berjudul “Kemajuan yang Tertunda; Analisis Data Perkawinan Usia
Anak di Indonesia”, diperoleh beberapa faktor penyebab tingginya pernikahan
anak di Indonesia. Beberapa faktor tersebut, di antaranya tingkat kemiskinan,
norma-norma sosial dan budaya.Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyebutkan bahwa usia terendah
untuk perkawinan yang sah bagi anak
perempuan adalah 16
tahun dan anak
laki-laki 19 tahun.
Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan(1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak priamencapai umur 19 (sembilan belas) tahundan pihak wanita sudahmencapai usia 16 (enam belas) tahun.
Penentuan
batas usia dalam UU Perkawinan tersebut membuka kemungkinan pengecualian bagi
anak untuk menikah lebih awal dan juga bertentangan dengan Konvensi Hak Anak
(KHA). Tak hanya itu, batas usia dalam UU Perkawinan juga dinilai bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU
Perlindungan Anak) yang menyatakan bahwa usia anak adalah di bawah 18 tahun dan
orang tua bertanggung jawab untuk mencegah perkawinan usia anak.
Dalam
laporan yang dirilis oleh UNICEF bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik pada
Mei 2016 tersebut, diperoleh angka 340.000 pernikahan anak, dilakukan oleh anak
perempuan Indonesia ketika usia mereka masih anak-anak. Pada dasarnya,
pernikahan anak merupakan pelanggaran dasar terhadap hak anak. Selain itu,
pernikahan anak melanggar Konvensi Hak Anak (KHA), Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM). Hukum HAM internasional menyatakan dengan tegas
bahwa perkawinan merupakan perjanjian formal dan mengikat antara orang
dewasa.Sementara, CEDAW menyatakan bahwa perkawinan usia anak tidak boleh
dinyatakan sah menurut hukum (Pasal 16 (2)).
Sementara
itu, KHA mendefinisikan setiap orang di bawah usia 18 tahun sebagai anak dan
berhak atas semua perlindungan anak.Pernikahan anak juga dianggap melanggar
sejumlah hak asasi manusia yang dijamin oleh KHA, di antaranya hak atas
pendidikan; hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan (termasuk kekerasan seksual); hak atas kesehatan;
hak untuk dilindungi dari eksploitasi; serta hak untuk tidak dipisahkan dari orang
tua mereka (dipisahkan dari orang tua bertentangan dengan keinginan mereka).
Hak atas pendidikan
|
pernikahan
anak mengingkari hak anak untuk memperoleh pendidikan, bermain,dan memenuhi potensi
mereka karena dapat mengganggu atau mengakhiri pendidikan mereka
|
Hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan (termasuk
kekerasan seksual)
|
Pernikahan
anak meningkatkan kerentanan anak perempuan terhadap kekerasan fisik,
seksual, dan mental
|
Hak atas kesehatan
|
Pernikahan
anak dapat meningkatkan risiko anak perempuan terhadap penyakit dan kematian
yang berhubungan dengan kehamilan dan
persalinan dini. Selanjutnya, perkawinan usia anak membatasi kontrol anak
perempuan atas tubuh mereka sendiri, termasuk kemampuan seksual dan reproduksi mereka
|
Hak untuk dilindungi dari eksploitasi
|
Pernikahan
anak seringkali terjadi tanpa persetujuan anak atau melibatkan pemaksaan yang
menghasilkan keputusan yang ditujukan untuk mengambil keuntungan dari mereka
atau merugikan mereka daripada memastikan bahwa
kepentingan terbaik mereka terpenuhi
|
Hak untuk tidak dipisahkan dari orang
tua mereka (dipisahkan dari orang tuabertentangandengan keinginan mereka)
|
Pernikahan
anak memisahkan anak perempuan dari keluarga mereka dan menempatkan mereka
dalam hubungan dan lingkungan yang asing dimana mereka mungkin tidak dirawat
atau dilindungi, dan dimana mereka tidak memiliki suara atau kekuasaan dalam
pengambilan keputusan atas kehidupan mereka sendiri
|
Dampak bagi Anak Perempuan
Dalam
laporannya, UNICEF menyebut dampak terbesar dari pernikahan anak dirasakan oleh
anak perempuan, anak-anak hasil pernikahan dini, serta masyarakat luas. UNICEF
mengemukakan fakta mencengangkan bahwa kondisi berbahaya yang mengancam jiwa
akan dialami oleh 14,2 juta anak perempuanyang menjadi pengantin anak di
seluruh dunia—termasuk Indonesia—selama periode 2011-2020.Hal tersebut karena
pernikahan anak dapat menyebabkan kehamilan dan persalinan dini bagi anak
perempuam, yang berhubungan dengan angka kematian yang tinggi dan keadaan tidak
normal bagi ibu.Apalagi kondisi tubuh anak perempuan yang belum sepenuhnya
matang untuk melahirkan.
Selain
berisiko pada kesehatan, pernikahan anak juga menyebabkan rendahnya tingkat
pendidikan bagi anak perempuan.Hal ini disebabkan pernikahan dan pendidikan
dianggap bertentangan ketika anak perempuan yang menikah menghadapiketerbatasan
mobilitas, kehamilan dan tanggung jawab terhadap perawatan anak.UNICEF dalam
laporannya juga menyebut sebanyak 85% anak perempuan di Indonesia mengakhiri
pendidikan setelah menikah.
Belum
lagi, kenyataan bahwa terdapat sekolah di Indonesia yang anak perempuan yang
telah menikah untuk bersekolah. Keadaan ini akan berdampak perempuan dengan
tingkat pendidikan yang lebih rendah lebih tidak siap untuk memasuki masa
dewasa dan memberikan kontribusi, baik terhadap keluarga mereka maupun
masyarakat.Mereka juga kurang mampu untuk memperoleh penghasilan dan memberikan
kontribusi finansial bagi keluarga.Hal ini dapat berdampak dalam peningkatan angka
kemiskinan di masyarakat. Misalnya saja seperti yang terjadi di Nepal, UNICEF
menyatakan bahwa hilangnya kesempatan bersekolah sebagai akibat dari pernikahan
anak adalah sebesar 3,87 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Hak Konstitusional
Dirugikan
Terkait
pernikahan anak, tiga wanita yang pernah mengalami pernikahan ketika masih usia
anak, yakni Endang Wasrinah, Maryanti, dan Rasminah, mengajukan uji materiil
terkait batas usia menikah sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan. Ketiganya merasa dirugikan dengan batas usia menikah bagi
perempuan, yakni 16 tahun. Diketahui bahwa Endang dan Maryanti menikah pada
usia 14 tahun, sementara Rasminah menikah pada usia 13 tahun.
Kemiskinan
menjadi alasan para Pemohon perkara Nomor 22/PUU-XV/2017 melakukan pernikahan anak.Orangtua
para Pemohon memaksa anak-anak mereka yang masih di bawah umur melakukan
pernikahan anak demi lepas dari jerat kemiskinan.Akan tetapi, bagi para Pemohon
yang kala itu masih berusia anak, pemaksaan pernikahan tersebut berimbas pada
pendidikan yang akhirnya tidak dituntaskan.Selain itu, dampak lainnya, para
Pemohon menghadapi kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut
para Pemohon, peristiwa yang dialami mereka terjadi akibat berlakunya Pasal 7
ayat (1) UU Perkawinan terutama frasa “16 tahun”. Pemohon melihat adanya
pembedaan usiamenikah untuk perempuan dan laki-laki mengakibatkan terjadinya
pembedaan kedudukan hukum, termasuk kewajiban negara terhadap
rakyatnya.Kewajiban negara tersebut mencakup untuk melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), dan menghargai (to respect) hak-hak anak sesuai
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan menimbulkan diskriminasi terhadap anak
perempuan. Para Pemohon juga beralasan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sepanjang
frasa “16 tahun” melanggar prinsip segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945. Selain itu, ketentuan tersebut juga menimbulkan pembedaan kedudukan
hukum dan diskriminasi terhadap anak perempuan di dalam hak kesehatan.
“Untuk
itu, para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan sepanjang frasa “16 tahun” demi pengakuan, perlindungan, dan
pemenuhan hak asasi anak khususnya anak perempuan Indonesia serta memberikan
kepastian hukum yang adil bagi warga negara sebagaimana dimandatkan oleh
Undang-Undang Dasar 1945,” jelas Ajeng Gandini selaku kuasa hukum Pemohon dalam
sidang perdana yang digelar 24 Mei 2017 silam.
Diskriminasi
batas usia inilah yang membedakan permohonan Pemohon dengan Putusan MK Nomor 30-74/PUU-XII/2014,
bertanggal 18 Juni 2015. Meski hanya melalui tiga sidang, permohonan para
Pemohon pun diputus pada 13 Desember 2018. Majelis Hakim Konstitusi membatalkan
keberlakuan aturan batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan untuk menikah
sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam putusan
tersebut, Mahkamah mengabulkan untuk sebagian permohonan Pemohon.
Dalam
amar putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman, Mahkamah menyatakan
Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “usia 16 (enam belas) tahun” Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Selain itu, Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih tetap berlaku sampai dengan
dilakukan perubahan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah
ditentukan dalam putusan tersebut.
“Memerintahkan
kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi
perempuan,” jelas Anwar.
Dalam Putusan
MK Nomor 30-74/PUU-XII/2014, Mahkamah menolak permohonan tersebut dan
menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Terkait hal tersebut, dalam pendapat Mahkamah
yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams, dalil permohonan Pemohon
Nomor 22/PUU-XV/2017 berbeda dengan permohonan Nomor 30-74/PUU-XII/2014.
Pemohon kali ini mendalilkan adanya diskriminatif dengan pembedaan batas usia
menikah antara laki-laki dan perempuan. Mahkamah berpendapat salah satu
kebijakan hukum yang dapat dikategorikan mengandung perlakuan berbeda atas
dasar jenis kelamin dimaksud adalah Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan.
“Hal
demikian dalam putusan-putusan sebelumnya belum dipertimbangkan oleh Mahkamah
dan pertimbangan demikian tidak muncul karena memang tidak didalilkan oleh para
Pemohon pada saat itu,” jelas Wahiddudin.
Wahiddudin
melanjutkan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan diskriminatif dikarenakan
dengan adanya pembedaan batas usia minimum perkawinan yang termuat di dalamnya
telah menyebabkan perempuan menjadi diperlakukan berbeda dengan laki-laki dalam
pemenuhan hak-hak konstitusionalnya, baik hak-hak sipil dan politik maupun
hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Pembedaan tersebut terjadi semata-mata
karena jenis kelamin.
“Hak-hak
konstitusional dimaksud, antara lain, hak atas perlakuan yang sama di hadapan
hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena secara hukum
seorang perempuan pada usia 16 tahun yang menurut Undang-Undang Perlindungan
Anak masih tergolong ke dalam pengertian anak, jika telah kawin akan berubah
statusnya menjadi orang dewasa, sementara bagi laki-laki perubahan demikian
baru dimungkinkan jika telah kawin pada usia 19 tahun,” terang Wahiddudin.
Diskriminasi Hak
Selanjutnya,
Hakim Konstitusi Saldi Isra melanjutkan pengaturan batas usia minimal
perkawinan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan tidak saja menimbulkan
diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana
dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan
diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin
dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, lanjut Saldi, ketika usia
minimal perkawinan bagi perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, maka
secara hukum perempuan dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga. “Hal
demikian berbeda dengan batas usia minimal perkawinan bagi laki-laki yang
mengharuskan menunggu lebih lama dibandingkan perempuan,” imbuh Saldi.
Di
samping itu, Saldi memaparkan perbedaan batas usia minimal tersebut memberi
ruang lebih banyak bagi anak laki-laki untuk menikmati pemenuhan hak-haknya
sebagai anak karena batas usia kawin minimal laki-laki yang melampaui usia
minimal anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. “Sementara bagi
perempuan, pembatasan usia minimal yang lebih rendah dibanding usia anak justru
potensial menyebabkan anak tidak sepenuhnya dapat menikmati hakhaknya sebagai
anak dalam usia anak,” jelasnya.
Kebijakan Hukum Terbuka
Saldi
juga menegaskan sikap Mahkamah, bahwa sekalipun ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan merupakan kebijakan hukum yang diskriminatif atas dasar jenis
kelamin, namun tidak serta-merta Mahkamah dapat menentukan batas usia minimal
perkawinan seperti petitum Pemohon yang menginginkan batas usia 19 tahun.
Mahkamah, lanjut Saldi hanya menegaskan bahwa kebijakan yang membedakan batas usia
minimal perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah kebijakan yang
diskriminatif, namun penentuan batas usia perkawinan tetap menjadi ranah
kebijakan hukum pembentuk undang-undang.
Apabila
Mahkamah memutuskan batas minimal usia perkawinan, Saldi menyebut hal itu justru
akan menutup ruang bagi pembentuk undang-undang di kemudian hari untuk
mempertimbangkan lebih fleksibel batas usia minimal perkawinan sesuai dengan
perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, Mahkamah
memberikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun kepada pembentuk
undang-undang untuk sesegera mungkin melakukan perubahan kebijakan hukum
terkait batas minimal usia perkawinan, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal
7 ayat (1) UU Perkawinan. “Sebelum dilakukan perubahan dimaksud, ketentuan
Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 masih tetap berlaku,” tegasnya.
Harmonisasi
Selain
itu, Saldi mengemukakan apabila dalam tenggang waktu tersebut pembentuk undang-undang
masih belum melakukan perubahan terhadap batas minimal usia perkawinan yang
berlaku saat ini, demi untuk memberikan kepastian hukum dan mengeliminasi
diskriminasi yang ditimbulkan oleh ketentuan tersebut, maka batas minimal usia
perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan diharmonisasikan
dengan usia anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak dan diberlakukan
sama bagi laki-laki dan perempuan.
“Menimbang
bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil permohonan Pemohon
sepanjang ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 telah menimbulkan diskriminasi
atas dasar jenis kelamin atau gender yang berdampak terhadap tidak terpenuhinya
hak anak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD
1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tutup Saldi.
*) Tulisan ini dimuat dalam Majalah KONSTITUSI Nomor 143 Edisi Januari 2019 (Dapat diunduh di sini)
Komentar
Posting Komentar