Are We “Sexy Killers”?

Semua gara-gara wong pinter. Gunung dijual. Laut ditanami besi. Lama-lama kita tidak punya tanah di Indonesia ini.” Kalian suka membiarkan lampu di ruangan yang tidak terpakai menyala? Atau membiarkan chargeran ponsel di stop kontak tanpa dicharge ke ponsel? Atau suka memakai AC dan leyeh-leyeh di kamar seharian? Sudah dijawab pertanyaan-pertanyaan gue? Jawabannya kebanyakan iya atau tidak? Gue tidak akan kepo lebih lanjut mengenai jawaban kalian. Cukup kalian dan Tuhan saja yang tahu. Nantinya jawaban-jawaban itu akan kalian pikirkan usai membaca catatan ini. Sekarang gue akan bertanya, sudah menonton link video yang gue bagikan di beranda FB berjudul “Sexy Killers”? Belum menonton?! Ah, sayang sekali. Itu berarti lo sudah melewatkan film paling menarik di tahun 2019 ini mengalahkan “Avengers: The Endgame” yang baru rilis akhir April nanti. Bayangkan baru 3 hari dirilis saja, sudah ditonton sebanyak 5,3 juta penonton. Lantas, film macam apa yang dalam waktu semalam bisa langsung ditonton 2,9 juta penonton (Ketika gue tonton kemarin, jumlah penontonnya masih 1,4 juta orang dan pagi ini sudah mencapai 5,3 juta penonton)? Film ini tentang pahlawan super (superheroes) sama seperti Avengers. Akan tetapi, film ini mengisahkan secara nyata pahlawan super yang sebenarnya. Mereka yang tidak berkekuatan super, tetapi demi kehidupan banyak orang mengorbankan kehidupan mereka sendiri. Menonton “Sexy Killers” seperti menonton film Leonardo Dicaprio yang berjudul “Blood Diamond”. Bedanya, jika dalam “Blood Diamond” diangkat dari kisah nyata yang terjadi di Kimberley, Afrika Selatan, maka “Sexy Killer” memang kisah nyata yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Jika dalam “Blood Diamond” menceritakan bahwa untuk satu buah berlian yang mahalnya-luar-binasa itu dihasilkan dari “darah” penduduk di Sierra Leone, maka dalam “Sexy Killers” banyak penduduk di Samarinda, Pulau Karimun Jawa, Buleleng, dan lainnya mengorbankan diri dan kehidupan mereka demi memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Jawa.
Kalian tahu bahwa listrik yang kita nikmati berasal dari beberapa PLTU Jawa dan Bali? Lantas, tahukah kalian apa bahan bakar PLTU? Ya, batubara. Daaan, tahukah kalian batubara yang menjadi bahan bakar PLTU darimana asalnya? Dari Kalimantan, dengan mengeruk hutan, menggusur permukiman warga, membiarkan lubang kerukan tambang batubara menjadi kolam air, belum lagi merenggut nyawa penduduk setempat baik karena jatuh di kubangan bekas tambang yang tidak direklamasi maupun akibat penyakit karena limbah tambang. Miris. Agak miris ketika banyak komen yang menyangkutkan film produksi Watchdoc dan Ekspedisi Indonesia Biru ini disebarluaskan hanya demi kepentingan politik semata, seperti pemilu pada hari ini. Apalagi karena keempat paslon presiden dan wakil presiden yang menjadi kontestan tergambarkan mempunyai “andil” dalam merusak Indonesia secara tidak langsung. Gue tidak akan membahas lingkaran setan ekonomi atau politik di sana, karena gue pun yakin pembuatan film ini tidak juga murni didasari untuk alam Indonesia dan warganya. Pasti ada donatur di balik film dokumenter yang luar biasa dahsyatnya ini, yang memiliki kepentingan sendiri. Lantas, kenapa gue mereview film dokumenter berdurasi sekitar 88 menit itu? Gue hanya ingin sebagai warga negara, kita membuka mata. Bahwa kemudahan listrik yang kita nikmati sehari-hari didapat dari kesusahan saudara kita di bagian bumi pertiwi yang lain. Ada mereka yang rumahnya hancur akibat area tambang yang terlalu dekat dengan permukiman. Ada mereka yang kehilangan anak-anak mereka akibat lubang kerukan tambang yang tak direklamasi perusahaan padahal sudah ada peraturan untuk menutup lubang tambang yang sudah dikeruk. Ada mereka yang rela mengidap penyakit akibat mengisap udara yang bercampur berbagai elemen dalam uap yang dikeluarkan PLTU. Semua demi listrik yang kita nikmati dengan mudahnya. Pun gue tidak ingin orang-orang golput usai menonton “Sexy Killers”. Mengutip dari tulisan Direktur Pusako UNAND Feri Amsari (sila baca tulisannya di sini).
Lalu, apa sebabnya hanya karena bingung dengan dua pasangan calon atau baru nonton film dokumenter "Sexy Killers", engkau sudah hendak golput. Lupa rupanya hak pilih itu adalah salah satu perjuangan paripurna melawan kesewenang-wenangan. Film dokumenter Sexy Killers memang menawan tapi tanpa perjuangan hak pilih dan kebebasan berpendapat mungkin film itu tidak pernah ada. Jadi yang menjadi acuan harusnya perjuangan hak pilih, bukan film dokumenter.
Bagi gue sendiri, mereka yang kita pilih adalah mereka yang kita letakkan amanah untuk berbuat lebih baik demi Indonesia. Bukan urusan kita lagi, ketika kelak mereka mengkhianati amanah yang kita berikan. Itu urusannya dengan Maha Pencipta yang tentu saja hisabnya maha adil dan adzabnya maha menghancurkan. Kita yang memilih pun sudah berusaha untuk memilih pemimpin yang diharapkan adil dan bijaksana. Dan, siapapun yang terpilih nantinya, pemimpin itulah yang ditakdirkan Allah Azza wa Jalla memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Dan harus diingat, ma qadarallahu khayr, segala takdir Allah pasti baik. Sekarang pun gue sedang menonton Asimetris, film lain yang diproduksi Watchdoc dan Ekspedisi Indonesia Baru. Ini lebih miris. Tapi satu hal yang pasti dari semua film dokumenter itu muaranya hanya satu; bahwa benarlah jika manusia hanyalah hamba uang.
Semoga alam tak marah. Semoga Penciptanya pun tak murka. Karena pada marahnya, alam bisa menelan hidup manusia. Dan pada murka-Nya, manusia hanya akan menjadi kerak neraka.
Oiya, kalau kalian hendak kepo film "Sexy Killers". Sila menonton di sini.




Happy watching and thinking!




LA/17042019 

Komentar

Postingan Populer