MENYOAL KEMBALI KONSTITUSIONALITAS AMBANG BATAS CAPRES


Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 mendatang memberikan pekerjaan rumah yang berkelanjutan mengenai polemik jumlah ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Kebijakan hukum terbuka pembuat undang-undang yang mematok ambang batas paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, tersebut dipersoalkan oleh sejumlah aktivis pro-demokrasi dan sejumlah warga negara perseorangan. Terhadap persoalan ini, MK tetap memegang teguh 13 putusan serupa sebelumnya, yang menegaskan bahwa presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka pembuat undang-undang (open legal policy). Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945.



Sebagai praktik yang lazim diterapkan negara penganut sistem presidensial, presidential threshold diberlakukan sebagai ambang batas minimum bagi keterpilihan presiden. Keberlakuannya bukan untuk membatasi pencalonan presiden/wakil presiden, melainkan hanya untuk menentukan persentase suara minimum untuk keterpilihan presiden/wakil presiden. Hal ini sebagaimana amanat Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945. Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden”.
Akan tetapi, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang dibentuk pembuat undang-undang sebagai manifestasi dari Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 justru dinilai bertentangan dengan Konstitusi itu sendiri.

Pasal 222 UU Pemilu menyatakan, Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Para aktivis demokrasi yang terdiri dari Muhammad Busyro Muqoddas, Hadar Nafis Gumay, Bambang Widjojanto, dkk., Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) diwakili Titi Anggraini mempermasalahkan keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu. Dalam sidang perdana yang digelar pada 3 Juli 2018 lalu, Hadar Nafis Gumay yang merupakan perwakilan Pemohon Perkara Nomor 49/PUU-XVI/2018, menjelaskan ambang batas pencalonan presiden pada dasarnya adalah “syarat” calon presiden. Sedangkan ketentuan yang didelegasikan oleh UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 adalah “tata cara” pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. “Padahal secara gramatikal “syarat” dan “tata cara” adalah berbeda,” jelasnya dalam siding panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Hadar menyebut ambang batas 25% berdasarkan Pasal 222 UU Pemilu nyata-nyata menambahkan pembatasan baru, yang tidak ada dalam ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yaitu berdasarkan hasil suara dan kursi “Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Hal demikian, lanjutnya,  bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang hanya mengatur parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu sesuai original intent atau perumusan norma tersebut, yakni sesuai pemilu yang saat itu akan dilaksanakan.

“Berdasarkan berdasarkan Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, khususnya Buku V tentang Pemilihan Umum, tidak terdapat pembahasan original intent terkait syarat presidential threshold. Tidak ada pembatasan ambang batas pencalonan presiden, apalagi berdasarkan jumlah kursi dan suara sah nasional pemilu DPR berdasarkan hasil pemilu 5 (lima) tahun sebelumnya,” tegasnya.

Hadar juga menyinggung tentang Putusan MK sebelumnya yang menyatakan pasal terkait  ambang batas pencalonan presiden adalah konstitusional karena syarat calon presiden itu merupakan norma hukum yang terbuka (open legal policy). Menurutnya, ketentuan pasal undang-undang terkait  ambang batas pencalonan presiden (termasuk Pasal 222 UU Pemilu) bukanlah penerapan dari konsep open legal policy karena UUD 1945 secara jelas telah memberikan pembatasan-pembatasan seharusnya syarat dan tata cara pemilihan presiden tersebut harus dilakukan.

Terakhir, Hadar menambahkan Pasal 222 UU Pemilu yang mendasarkan penghitungan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan hasil pemilu DPR yang 5 (lima) tahun sebelumnya, nyata-nyata telah menghilangkan hak rakyat untuk memperbarui mandat lima tahunan. Hal ini karena pemilihan presiden masih didasarkan pada pemilu yang telah berlalu, dan sangat boleh jadi tidak lagi sesuai dengan aspirasi rakyat pemilih. “Presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan Capres tunggal sehingga bertentangan dengan Pasal 6A ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945,” jelasnya.

Tidak Berpihak pada Parpol Baru

Sementara Nugroho Prasetyo selaku Pemohon Perkara Nomor 50/PUU-XVI/2018 melalui kuasa hukumnya Heriyanto menyatakan, kliennya merupakan warga negara Indonesia yang mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden Republik Indonesia tanggal 19 Juni 2018. Pemohon  merupakan pendiri Ormas Front Pembela Rakyat dan Ormas Garda Indonesia. Akan tetapi, lanjutnya, dengan adanya aturan ambang batas pencalonan presiden telah membatasi hak konstitusional Pemohon untuk mencari parpol pengusung dalam lingkup parpol peserta Pemilu 2014 saja. Padahal, lanjut Heriyanto, ada empat partai politik baru seperti Partai Beringin Karya (Berkarya), Partai Solidaritas Indonesia, Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang berpeluang bagi Pemohon dekati guna mengusung Pemohon sebagai calon presiden.
“Pemohon memiliki potensi besar untuk dijadikan calon presiden oleh partai-partai baru dikarenakan Pemohon memiliki kelompok pergerakan Front Pembela Rakyat (FPR) dan Garda Indonesia yang telah terbentuk di 517 kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Ormas tersebut dapat meningkatkan perolehan suara partai politik (vote getters). Partai politik baru butuh Pemohon sebagai calon presiden untuk meningkatkan perolehan suara pada pemilu tahun 2019,” tegasnya pada sidang yang sama.
Open Legal Policy
Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik Effendi Gazali selaku Pemohon Nomor 54/PUU-XVI/2018 mendalilkan kerugian konstitusional dengan berlakunya Pasal 222 UU Pemilu. Akan tetapi, ia menegaskan ada perbedaan permohonannya dengan permohonan-permohonan sebelumnya yang telah diputus MK.  Ia menyebut menerima bahwa Pasal 222 UU Pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka pembuat undang-undang. 

Menurut Gazali, Pasal 222 UU Pemilu, andaikan pun dibentuk atas dasar open legal policy, tidak akan membawa kerugian konstitusional kepada warga negara manapun, jika dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi mulai berlaku pada Pemilihan Serentak Presiden dan DPR pada 2024 atau lima tahun yang akan datang. Hal ini karena sejak UU Pemilu ini dinyatakan berlaku 16 Agustus 2017, warga negara sudah mengetahui serta dianggap mengetahui bahwa ketika melakukan hak pilihnya untuk Pemilu DPR tahun 2019. Hal itu, lanjutnya, sekaligus akan dihitung sebagai bagian dari ambang-batas untuk pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (Presidential Threshold) oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2024.

“Namun, posisi kami ingin menyampaikan bahwa karena kami semua sebagai warga negara yang sudah melakukan hak pilih kami pada Pemilu DPR 2014, tidak pernah diberitahu sama sekali, baik oleh undang-undang atau peraturan apapun. Tidak pernah diberitahu sama sekali oleh DPR, pemerintah maupun KPU yang memiliki tugas untuk itu bahwa kalau kami melakukan hak pilih kami pada Pemilihan DPR Tahun 2014, hal itu berarti sekaligus menjadi presidential threshold pada Pemilu 2019,” dalil Gazali.

Lebih lanjut, Gazali memohon kepada Majelis Hakim tidak membiarkan terjadinya Pemilihan Umum Serentak 2019 bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan bagian utuh dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Kenapa? Karena kalau itu dibiarkan terlaksana pada Pemilu Serentak 2019 ini, berarti sudah membiarkan terjadinya pembohongan kepada warga negara. Setidaknya kami yang sudah melakukan hak pilih kami pada Pemilu DPR 2014 dan sekaligus Mahkamah Konstitusi membiarkan terjadinya manipulasi atau penggelapan hasil hak suara kami pada Pemilu DPR 2014 untuk bukan tujuan-tujuan yang sebagaimana sudah disampaikan kepada warga negara,” imbuh Effendi. 

Kalau kedua hal itu dibiarkan, ujar Effendi, Mahkamah Konstitusi seperti membiarkan terjadinya Pemilu Serentak 2019 yang bertentangan atau melanggar nilai-nilai Pancasila yang ada sepenuhnya dalam Undang-Undang Dasar 1945. Lebih khusus lagi dinyatakan oleh putusan MK secara substantif ada dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pemilih Pemula

Permohonan lain terkait pengujian aturan ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden, datang dari Muhammad Dandy yang merupakan pemilih pemula dalam Pemilu 2019 mendatang. Ia merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 222 UU Pemilu. Unoto Dwi Yulianto selaku kuasa hukum Perkara Nomor 58/PUU-XVI/2018, menyebut Pemohon yang berusia 20 tahun merupakan pemilih pemula. Pada Pemilihan Umum 2014, Pemohon tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena belum berusia 17 tahun dan juga belum menikah.

Unoto mendalilkan, partai politik hasil Pemilu 2014 tidak pernah mendapatkan mandat dari pemilih pemula yang pada Pemilu 2019 baru pertama kali memilih untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, sehingga berpotensi hilangnya hak konstitusionalitas pemilih pemula untuk mendapatkan banyaknya alternatif calon pemimpin.

“Ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang dibuat oleh pembuat undang-undang dengan mekanisme berdasarkan hasil pemilu sebelumnya jelas merugikan dan mengebiri hak-hak konstitusional pemilih pemula in casu termasuk Pemohon karena Pemohon tidak pernah memberikan mandat atau suaranya kepada partai politik manapun pada Pemilu 2014,” imbuh Unoto.

Ikuti Jumlah Suara Sah

Sementara itu, Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen yang diwakili oleh Sri Sudarjo juga mengajukan permohonan uji materiil aturan presidential threshold.  Ia mendalilkan seharusnya frasa Pasal 222 UU Pemilu diubah dan dinyatakan tidak mengikat. Ia menyebut seharusnya Pasal 222 diubah menjadi pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 27% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 30% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya dan/atau 30% suara pemilih yang tidak memilih partai-partai lainnya. Hal tersebut karena setiap suara yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap adalah suara sah secara nasional. Suara sah tersebut secara otomatis telah bergabung di dalam Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen karena yang memperjuangkan hak memilih dan tidak memilih adalah wujud kedaulatan rakyat.

Kenapa harus diubah persentasenya? Karena data untuk tidak memilih jauh lebih besar dari partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya, seperti yang dirilis KPU sejumlah 30,42%,” ucap Sudarjo.

Dari empat permohonan tersebut, seluruhnya para Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi membatalkan keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden.

Teguh pada Putusan

Terkait dengan seluruh permohonan yang diajukan tersebut, Mahkamah membacakan putusan pada Kamis, 25 Oktober 2018. Dalam empat putusan tersebut, Mahkamah pun kembali menegaskan pendiriannya bahwa aturan ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden konstitusional.

Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyebut telah berkali-kali menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam sejumlah Putusan Mahkamah sejak 2008. Putusan-putusan  di antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUUVI/2008; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-VII/2009; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XI/2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XI/2013; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XI/2013; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XII/2014; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XV/2017; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XV/2017; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XV/2017; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XV/2017. Dikarenakan telah mengeluarkan putusan tersebut, maka berdasar pada Pasal 54 UU MK, Mahkamah tidak memandang perlu untuk mendengar pihak-pihak.

Mahkamah juga menegaskan tidak mengubah pendiriannya disebabkan beberapa alasan. Salah satunya terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan pada 11 Januari 2018. Putusan Mahkamah mengenai konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu tersebut didasarkan atas pertimbangan komprehensif yang bertolak dari hakikat sistem pemerintahan presidensial menurut desain UUD 1945. Mahkamah tidak mengambil dasar pertimbangan-pertimbangan kasuistis yang bertolak dari peristiwa-peristiwa konkret. Dalam rentang waktu yang hanya beberapa bulan tersebut, Mahkamah menemukan tidak terjadi perubahan sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 yang dibuktikan dengan tidak adanya perubahan undang-undang sebagai pengaturan lebih lanjut sistem ketatanegaraan. Oleh karena itu, Mahkamah menilai belum ada alasan mendasar untuk mengubah pendiriannya.

Dalam Putusan Nomor 49/PUU-XVI/2018 tersebut, Mahkamah kembali menegaskan bahwa syarat dukungan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20% (dua puluh perseratus) kursi di DPR atau 25% (dua puluh lima perseratus) suara sah nasional sebelum pemilihan umum Presiden, merupakan dukungan awal sebagaimana tercantum dalam putusan-putusan MK sebelumnya. Sedangkan dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terhadap Calon Presiden dan Wakil Presiden yang kelak akan menjadi Pemerintah sejak awal pencalonannya telah didukung oleh rakyat melalui partai politik yang telah memperoleh dukungan tertentu melalui Pemilu.

Mahkamah juga mendalilkan sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Nomor 59/PUUXV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XV/2017, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XV/2017. Pada intinya, Mahkamah berpendapat sejak awal diberlakukannya persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti sejak awal pula dua kondisi bagi hadirnya penguatan sistem Presidensial diharapkan terpenuhi. Pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai politik atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di DPR. Kedua, penyederhanaan jumlah partai politik.

Sementara itu, terkait dalil Pemohon yang menyebut bahwa presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan Capres tunggal, Mahkamah menilai meskipun dalil tersebut tampak logis, namun mengabaikan fakta bahwa UUD 1945 tidak membatasi warga negara untuk mendirikan partai politik sepanjang syarat untuk itu terpenuhi sebagaimana diatur dalam undang-undang. Sehingga, kendatipun diberlakukan syarat parliamentary threshold, kemungkinan untuk lahirnya partai-partai politik baru akan tetap terbuka. Hal ini terbukti dari kenyataan empirik yang ada selama ini sejak dijaminnya kemerdekaan berserikat dan berkumpul, terutama setelah dilakukan perubahan UUD 1945. Terlebih lagi, untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sebuah partai politik terlebih dahulu haruslah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Bagi partai politik yang memenuhi persyaratan terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk menjadi peserta pemilihan umum harus pula terdaftar sebagai peserta pemilihan umum di KPU dengan terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang lebih berat bila dibandingkan dengan syarat terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tidak hanya persyaratan formal, untuk menjadi peserta pemilihan umum partai politik harus melewati verifikasi mulai dari dari tingkat pusat sampai ke tingkat kecamatan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, MK berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Konsekuensi Pemilu Serentak

Dalam Putusan Nomor 54/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan oleh Effendi Gazali, dkk., Mahkamah membantah dalil Pemohon yang menyebut aturan presidential threshold merupakan upaya pembohongan terhadap rakyat dan manipulasi suara pemilih. Pemohon beralasan penggunaan hasil pemilihan umum sebelumnya sebagai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden tanpa pemberitahuan kepada pemilih sebagai suatu bentuk kebohongan dan manipulasi.

Terhadap dalil tersebut, Mahkamah menilai penggunaan hasil pemilihan umum sebelumnya sebagai acuan bukan hal baru. Mahkamah mencontohkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XIII/2015 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) mengenai aturan persyaratan dukungan bagi calon kepala daerah. Dalam putusan tersebut Mahkamah, mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan bahwa ketentuan yang mengatur tentang penghitungan persentase dukungan sebagai syarat bagi calon perseorangan yang hendak mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah (gubernur, bupati, atau walikota) yang didasarkan atas jumlah penduduk di daerah yang bersangkutan bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “didasarkan atas jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih sebagaimana dimuat dalam daftar calon pemilih tetap di daerah yang bersangkutan pada pemilihan umum sebelumnya.”

Selain itu, Mahkamah menegaskan pemilihan presiden-wakil presiden dan pemilihan umum anggota DPR sebelumnya tidak dilakukan secara serentak, maka pilihan yang paling masuk akal adalah menggunakan hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya. Pilihan demikian adalah sebagai konsekuensi transisi penyelenggaraan dari Pemilu yang terpisah menjadi Pemilu serentak. Hal demikian dimungkinkan karena presidential threshold adalah sebagai kebijakan hukum pembentuk undang-undang. (Lulu Anjarsari)

*) Tulisan ini dimuat dalam Majalah KONSTITUSI Nomor 146 edisi November 2018

Komentar

Postingan Populer