MENYOAL KEWENANGAN IDI



Kewenangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dinilai berlebihan terutama kewenangan menerbitkan sertifikat kompetensi dan rekomendasi izin praktik dokter. IDI dinilai memonopoli serta menjadi organisasi arogan dan superbody karena melampaui peraturan perundang-undangan. Untuk itulah, sejumlah pemohon perseorangan mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Dokter (UU Pendidikan Dokter) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

IDI sebagai organisasi profesi bagi dokter berdiri sejak 24 Agustus 1950. Dalam perjalanannya, sesuai dengan AD/ART IDI, kewenangan dari IDI, di antaranya membina dan mengembangkan kemampuan profesi (advokasi kesehatan, profesi dan pelaku pengubah) bagi para anggota. Selain itu, IDI bertugas untuk memelihara dan membina terlaksananya sumpah dokter dan kode etik kedokteran Indonesia. IDI juga berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan profesi kedokteran, penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran, serta ilmu-ilmu yang berhubungan dengan itu. Tak hanya itu, IDI juga memperjuangkan dan memelihara kepentingan serta kedudukan dokter di Indonesia sesuai dengan harkat dan martabat profesi kedokteran.
Atas kewenangan-kewenangan tersebut, IDI dinilai memiliki peran ganda dalam dunia kedokteran Indonesia. Munculnya pendapat tersebut karena IDI memiliki peran di hulu yang mengatur sektor pendidikan kedokteran. Sementara di hilir, IDI juga mempunyai otoritas dalam penempatan/situasi bekerja dan kesejahteraan dokter di sektor pelayanan kesehatan. Sebagai organisasi profesi, IDI yang menjalankan dua peran tersebut dianggap tidak melaksanakan mekanisme check and balances.
Hal ini juga diungkapkan oleh Judilherry Justam yang merupakan salah satu Pemohon ketika ditemui di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di sela waktu mengajarnya. Sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina IDI periode 2012-2015, Judilherry mengungkapkan IDI tidak memiliki mekanisme check and balances dengan menempatkan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) ‘di bawah’ IDI karena ketiganya harus bertanggung jawab terhadap PB IDI. Padahal, lanjut Judilherry, seharusnya MKEK, MPPK, MKKI dan PB IDI berada pada posisi sejajar. Menurutnya, hal ini menunjukkan IDI tidak menerapkan mekanisme check and balances karena tidak ada yang mengawasi.
“Jika berbicara tentang demokrasi, maka harus ada sistem check and balances. Lembaga atau organisasi tetap harus ada yang mengawasi. Tidak ada yang (memiliki kewenangan) mutlak. Akan tetapi, berbeda kenyataannya dengan IDI. Dulu ada mekanisme check and balances karena ketua majelis (MKEK, MPPK dan MKKI) bertanggung jawab kepada muktamar, tetapi sekarang ketua majelis bertanggung jawab kepada ketua IDI,” terangnya ketika ditemui pada Rabu (16/5) siang.
Hal ini yang mendasari Judilherry bersama 31 pemohon perseorangan lainnya yang berprofesi sebagai dosen dan guru besar fakultas kedokteran, dokter praktik dan dokter spesialis mengajukan uji materiil lima pasal dalam UU Praktik Kedokteran dan empat pasal dalam UU Pendidikan Kedokteran. Ketentuan yang diuji, yakni Pasal 1 angka 4, Pasal 1 angka 12, Pasal 1 angka 13, Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Selain itu, Pemohon juga memohonkan pengujian atas keberlakuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2)  UU Pendidikan Kedokteran.
Sertifikat dan Uji Kompetensi
Kewenangan lain yang dipermasalahkan Pemohon adalah mengenai kewenangan IDI mengeluarkan sertifikat kompetensi dan uji kompetensi. Pemohon mengujikan frasa “sertifikat kompetensi” dan “uji kompetensi” sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran. Menurut Pemohon, mendalilkan berlakunya pasal a quo mengakibatkan, ketidakpastian hukum terkait dengan tahapan atau prosedur bagi seorang dokter untuk memperoleh izin praktik. Hal tersebut karena rumusan pasal a quo mengakibatkan dokter yang telah lulus uji kompetensi (UKPMPPD) masih harus mendapatkan lagi sertifikat kompetensi secara terpisah dari sertifikat profesi yang diperoleh setelah lulus uji kompetensi.

Dalam sidang perdana yang digelar pada 9 Februari 2017, Vivi Ayunita selaku kuasa hukum Pemohon menyebut uji kompetensi seharusnya diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2013 tentang Sisdiknas. Menurut Pemohon, tidak dibenarkan kolegium dokter Indonesia yang dibentuk oleh IDI menyelenggarakan uji kompetensi dan memberikan sertifikat kompetensi bagi lulusan Fakultas Kedokteran karena tidak memenuhi persyaratan akreditasi.

“Lebih lanjut, disebutkan pula pada Pasal 53 (UU Sisdiknas), penyelenggara dan satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah haruslah berbentuk badan hukum pendidikan. IDI tidak berbentuk badan hukum pendidikan sehingga menurut Pemohon dia tidak berwenang menyelenggarakan uji kompetensi,” terang Pemohon.

Makna Organisasi Profesi

Dalam permohonan Nomor 10/PUU-XV/2017 tersebut, Pemohon juga mempersoalkan mengenai makna “organisasi profesi” yang dinilai merugikan hak konstitusional Pemohon. Ketentuan Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran dinilai mempersempit makna “organisasi profesi” hanya untuk IDI. Sedangkan dalam lingkungan IDI, terdapat sejumlah Perhimpunan Dokter Spesialis yang juga berhak disebut sebagai “Organisasi Profesi”. Ketentuan demikian merugikan hak konstitusional sebagian para Pemohon yang merupakan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis, karena membatasi hak berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat sebagaimana diatur, dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.

Pemohon juga menilai IDI sebagai “medical association” seharusnya hanya berfungsi sebagai serikat pekerja bagi dokter Indonesia. Sedangkan Kolegium dan Majelis Kolegium Kedokteran adalah “academic body” bagi dokter Indonesia. Kolegium yang dibentuk oleh organisasi profesi IDI maupun perhimpunan spesialis tanpa melibatkan institusi pendidikan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum karena adanya intervensi IDI terhadap independensi kolegium. Kolegium Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13 UU Praktik Kedokteran merugikan hak konstitusional Pemohon yang menambahkan terbinanya profesionalisme dokter dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan masyarakat yang akhirnya akan memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat luas.

“Menurut Pemohon ketentuan Pasal 1 angka 13 undang-undang a quo merugikan hak konstitusional Pemohon dan juga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 31 ayat (1) UUD 1945,” jelas Vivi.

Rangkap Jabatan

Pemohon pun mempersoalkan rangkap jabatan pengurus IDI yang juga menduduki posisi sebagai komisioner KKI. Pemohon menilai hal tersebut sebagai akibat keberlakuan Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran yang pada akhirnya juga merugikan hak konstitusional Pemohon. Pasal tersebut, lanjut Vivi, mengakibatkan ketidakpastian hukum sebagai akibat dari adanya potensi benturan kepentingan antara pengurus organisasi profesi kedokteran (IDI) yang merangkap sebagai komisioner pada KKI yang berfungsi sebagai regulator. Padahal, pengurus organisasi profesi kedokteran (IDI) menjadi objek dari regulasi yang dibentuk, terlebih lagi apabila komisioner tersebut adalah juga menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.

“Afiliasi anggota KKI dalam organisasi profesi bahkan sebagai ketua umumnya dapat membuat keputusan-keputusan KKI ini menjadi bias karena bagaimana pun juga organisasi profesi akan mengedepankan kepentingan organisasinya yang dapat saja berbeda atau bertentangan dengan kepentingan KKI sebagai regulator dalam menjamin terciptanya pelayanan kesehatan yang bermutu, yang ditujukan untuk melindungi kepentingan masyarakat penerima jasa pelayanan jasa kesehatan,” ujar Vivi.

Diakui Pemerintah

Menanggapi permohonan Pemohon, Pemerintah diwakili oleh Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Kesehatan Barlian menyebut makna “organisasi profesi” dalam bidang kedokteran adalah IDI untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk dokter gigi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran. Penegasan ini, lanjut Barlian, dimaksudkan bahwa keduanya adalah satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang diakui oleh Pemerintah melalui undang-undang dengan tujuan untuk memudahkan pemerintah melakukan pembinaan, pengawasan, pengenaan sanksi serta peningkatan mutu profesi dokter dan dokter gigi, dalam kerangka melindungi kepentingan masyarakat.

“Adanya perkembangan cara pandang masyarakat dan pemerintah terhadap kebebasan berserikat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang ditandai oleh dinamika dalam tubuh organisasi profesi kedokteran, menuntut adanya perubahan dalam memaknai organisasi profesi, sehingga pada tahun 2013 pengertian organisasi profesi di dalam Pasal 1 angka 20 UU Pendidikan Kedokteran dinyatakan “Organisasi Profesi adalah organisasi yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang diakui oleh Pemerintah”,” jelasnya dalam sidang yang berlangsung pada 24 Mei 2017.

Sementara terkait sertifikat kompetensi, Barlian menyebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 dan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU Praktik Kedokteran diberikan oleh Kolegium kepada dokter yang akan berpraktik. Sedangkan, UU Pendidikan Kedokteran mengatur tentang sertifikat profesi yang diberikan oleh perguruan tinggi kepada lulusan baru dari program profesi dokter, sehingga kedua ketentuan dari dua undang-undang tersebut tidak dapat dipertentangkan dan bukanlah persoalan konstitusionalitas undang-undang.

“Pada teknis implementasinya, peserta yang lulus UKMPPD/UKMP2DG akan mendapatkan Sertifikat Profesi dari perguruan tinggi, dan secara otomatis mendapatkan Sertifikat Kompetensi dari Organisasi Profesi tanpa ada ujian tambahan (hanya ada persyaratan administratif saja). Hal ini merupakan bentuk harmonisasi dari implementasi UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran,” terang Barlian.

Kepastian Hukum

Hal serupa juga disampaikan oleh DPR yang diwakili Anggota Komisi III Teuku Taufiqulhadi yang menyebut Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran telah tegas dan jelas menjabarkan mengenai organisasi profesi dokter. Hal tersebut, lanjut Teuku, guna menjamin kepastian hukum yang adil sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Kepastian ini diperlukan mengingat peran penting dan krusial dari organisasi profesi yang diamanatkan oleh UU Praktik Kedokteran, di antaranya membentuk kolegium, menetapkan dan menegakkan etika profesi, ikut dalam menyusun standar pendidikan profesi, mengadakan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, membina dan mengawasi kendali mutu dan kendali biaya, serta ikut dalam melakukan pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran.

“Dengan demikian, diperlukan kejelasan dan kepastian hukum akan organisasi profesi untuk dokter dan dokter gigi sesuai dengan ketentuan pasal a quo agar pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan organisasi profesi dapat dipertanggungjawabkan,” terang Teuku dalam sidang yang digelar 17 Juli 2017 lalu.

IDI: Persoalan Internal

Sementara IDI selaku Pihak Terkait menjelaskan Pemohon yang mengajukan pengujian Undang-Undang a quo tidak mempunyai kerugian konstitusional karena pokok permasalahan dan alasan-alasan yang diajukan dalam perkara pengujian undang-undang a quo bukan permasalahan konstitusionalitas norma. Diwakili Muhammad Joni selaku kuasa hukum, menjelaskan permohonan tersebut merupakan persoalan teknis penerapan atau pelaksanaan norma. Tak hanya itu, Joni menyebut pokok permohonan dan posita perkara a quo hanya merupakan permasalahan penyelenggaraan internal organisasi IDI. “Kalau hendak disoal, hemat Pihak Terkait, perlu dibawa dan diuji dalam ranah organisasi IDI dan tidak dalam Muktamar IDI dan karenanya tidak terlalu jauh dan prematur jika dibawa kepada Mahkamah Konstitusi,” jelas Joni pada sidang yang digelar 24 Mei 2017 lalu.

Dalam keterangannya, Joni menyebut IDI sebagai organisasi profesi, bukan sebagai serikat pekerja. Joni menjelaskan IDI merupakan organisasi yang menerima mandat dalam penyelenggaraan praktik kedokteran sebagai bagian pelaksanaan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

“Oleh karena itu, IDI selaku organisasi profesi selain menjadi aktor dalam konteks penyelenggaraan Pasal 28H ayat (1), juga mengemban pemenuhan kepentingan publik (public interest on health) atas hak kesehatan dan hak asasi manusia. Berbeda dengan pekerja biasa, profesi dokter terikat pula dengan sumpah dokter. Dan bahkan, terkait pula dengan berbagai ketentuan, baik itu ketentuan yang berdasarkan norma etik, norma disiplin, dan juga norma hukum,” papar Joni.

Tidak Boleh Rangkap Jabatan
Setelah melalui serangkaian sidang, Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Pemohon pada Kamis (26/4). Mahkamah memutuskan anggota IDI tidak boleh rangkap jabatan dalam kepengurusan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan “Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuh belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari: (a) organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang; ...” bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang unsur “organisasi profesi kedokteran” tidak dimaknai sebagai tidak menjadi pengurus organisasi profesi kedokteran,” ucap Anwar yang didampingi oleh hakim konstitusi lainnya.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Mahkamah berpendapat pengisian anggota KKI harus mempertimbangkan tugas KKI yang berpotensi bersinggungan dengan kepentingan institusi asal anggota KKI. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, lanjut Manahan, KKI memiliki tugas melakukan registrasi dokter sebagai dasar untuk menerbitkan STR, melakukan fungsi regulasi serta melaksanakan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran. Organisasi profesi dokter, dalam hal ini IDI, sebagai salah satu institusi asal anggota KKI memiliki keterkaitan erat dengan tugas-tugas yang diemban KKI khususnya dalam fungsi regulasi karena para dokter yang merupakan anggota IDI merupakan objek dari regulasi yang dibuat oleh KKI.

Di sisi lain, tambah Manahan, IDI sebagai organisasi profesi dokter juga merupakan salah satu institusi asal anggota KKI. Keadaan ini menimbulkan potensi benturan kepentingan (conflict of interest) dari sisi IDI sebab IDI bertindak sebagai regulator dalam menjalankan fungsi sebagai anggota KKI, pada saat yang sama juga menjadi objek regulasi yang dibuat oleh KKI tersebut. Oleh karena itu, sambungnya, untuk mencegah potensi benturan kepentingan tersebut, maka seyogianya anggota IDI yang duduk dalam KKI seharusnya adalah mereka yang bukan merupakan pengurus IDI untuk mencegah konflik kepentingan. Hal tersebut karena KKI memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi registrasi dokter sebagai dasar menerbitkan STR, fungsi regulasi yang terkait dengan profesi dokter, dan fungsi pembinaan. Pada sisi lain, organisasi profesi dokter adalah IDI karena itu keberadaan pengurus IDI pada KKI potensial menimbulkan konflik kepentingan terutama dalam perumusan regulasi. Hal ini, sambungnya, tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

“Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas keanggotaan KKI dari unsur pengurus organisasi profesi kedokteran, dalam hal ini IDI, dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran adalah beralasan menurut hukum, sepanjang unsur “organisasi profesi kedokteran” tersebut tidak dimaknai tidak merangkap jabatan sebagai pengurus IDI,” tegas Manahan.

Menjaga Kompetensi

Terkait dalil Pemohon mengenai sertifikat kompetensi, Mahkamah menilai sertifikat profesi (“ijazah dokter”) tidak dapat disamakan dengan sertifikat kompetensi sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi, lanjut Manahan, adalah dua hal berbeda yang diperoleh pada tahap berbeda sebagai syarat yang harus dipenuhi seorang dokter yang akan melakukan praktik mandiri. Mahkamah telah mencermati fakta persidangan yang ada dan menilai bahwa baik sertifikat profesi maupun sertifikat kompetensi merupakan upaya untuk menjaga dan mendorong peningkatan kompetensi dan kualitas keilmuan dokter sebagai komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Proses uji tersebut akan memberikan penajaman dan peningkatan kompetensi sekaligus pengakuan atas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi landasan utama bagi dokter dalam melakukan tindakan medis.

“Dengan demikian, baik keberadaan sertifikat profesi maupun sertifikat kompetensi serta persyaratan untuk resertifikasi karena dimaksudkan untuk menjaga kompetensi dan kualitas keilmuan seorang dokter yang tujuan akhirnya adalah untuk melindungi masyarakat maka dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 4, Pasal 29 ayat (3) UU Praktik Kedokteran, serta Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

Tidak Beralasan Hukum

Sementara terkait organisasi profesi, Mahkamah menilai undang-undang memungkinkan masing-masing kelompok tenaga kesehatan membentuk kolegium berdasarkan disiplin ilmu masing-masing. Dalam struktur IDI pun berdasarkan AD/ART IDI kolegium-kolegium yang berhimpun dalam Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan salah satu unsur dalam struktur kepengurusan IDI di tingkat pusat yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan pengaturan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran. Manahan melanjutkan Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia merupakan unsur dalam IDI sebagai organisasi profesi kedokteran yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu masing-masing. Oleh karena itu, IDI dalam hal ini berfungsi sebagai rumah besar profesi kedokteran yang di dalamnya dapat membentuk kolegium-kolegium untuk melaksanakan kewenangan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AD/ART IDI.

“Penghapusan frasa “organisasi profesi” dalam ketentuan a quo menghilangkan unsur pembentuk kolegium yang adalah para dokter sendiri berdasarkan disiplin masing-masing yang pada akhirnya juga berhimpun dalam MKKI sebagai salah satu unsure pimpinan pusat IDI. Atas dasar pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Manahan. (Lulu Anjarsari)

*) Tulisan ini dimuat dalam Majalah KONSTITUSI Edisi Mei 2018

Komentar

Postingan Populer