MENYOAL KEWENANGAN IDI
IDI sebagai organisasi profesi bagi dokter berdiri sejak 24 Agustus 1950.
Dalam perjalanannya, sesuai dengan AD/ART IDI, kewenangan dari IDI, di
antaranya membina dan mengembangkan kemampuan profesi (advokasi kesehatan,
profesi dan pelaku pengubah) bagi para anggota. Selain itu, IDI bertugas untuk
memelihara dan membina terlaksananya sumpah dokter dan kode etik kedokteran
Indonesia. IDI juga berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan profesi
kedokteran, penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran, serta ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan itu. Tak hanya itu, IDI juga memperjuangkan dan memelihara
kepentingan serta kedudukan dokter di Indonesia sesuai dengan harkat dan
martabat profesi kedokteran.
Atas kewenangan-kewenangan tersebut, IDI dinilai memiliki peran ganda dalam
dunia kedokteran Indonesia. Munculnya pendapat tersebut karena IDI memiliki
peran di hulu yang mengatur sektor pendidikan kedokteran. Sementara di hilir,
IDI juga mempunyai otoritas dalam penempatan/situasi bekerja dan kesejahteraan
dokter di sektor pelayanan kesehatan.
Sebagai organisasi profesi, IDI yang menjalankan dua peran tersebut dianggap
tidak melaksanakan mekanisme check and
balances.
Hal ini juga diungkapkan oleh Judilherry Justam yang merupakan salah satu
Pemohon ketika ditemui di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di sela
waktu mengajarnya. Sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina IDI periode 2012-2015,
Judilherry mengungkapkan IDI tidak memiliki mekanisme check and balances dengan menempatkan Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), dan
Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) ‘di bawah’ IDI karena ketiganya
harus bertanggung jawab terhadap PB IDI. Padahal, lanjut Judilherry, seharusnya
MKEK, MPPK, MKKI dan PB IDI berada pada posisi sejajar. Menurutnya, hal ini
menunjukkan IDI tidak menerapkan mekanisme check
and balances karena tidak ada yang mengawasi.
“Jika berbicara tentang demokrasi, maka harus ada sistem check and balances. Lembaga atau
organisasi tetap harus ada yang mengawasi. Tidak ada yang (memiliki kewenangan)
mutlak. Akan tetapi, berbeda kenyataannya dengan IDI. Dulu ada mekanisme check and balances karena
ketua majelis (MKEK, MPPK dan MKKI) bertanggung jawab kepada muktamar, tetapi
sekarang ketua majelis bertanggung jawab kepada ketua IDI,” terangnya ketika
ditemui pada Rabu (16/5) siang.
Hal ini yang mendasari Judilherry bersama 31 pemohon perseorangan lainnya yang
berprofesi sebagai dosen dan guru besar fakultas kedokteran, dokter praktik dan
dokter spesialis mengajukan uji materiil lima pasal dalam UU Praktik Kedokteran
dan empat pasal dalam UU Pendidikan Kedokteran. Ketentuan yang diuji, yakni Pasal
1 angka 4, Pasal 1 angka 12, Pasal 1 angka 13, Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal
38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Selain itu, Pemohon juga memohonkan
pengujian atas keberlakuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat
(3) dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan
Kedokteran.
Sertifikat dan Uji Kompetensi
Kewenangan lain
yang dipermasalahkan Pemohon adalah mengenai kewenangan IDI mengeluarkan
sertifikat kompetensi dan uji kompetensi. Pemohon mengujikan frasa “sertifikat
kompetensi” dan “uji kompetensi” sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 24 ayat
(1), Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan
Kedokteran. Menurut Pemohon, mendalilkan berlakunya pasal a quo mengakibatkan,
ketidakpastian hukum terkait dengan tahapan atau prosedur bagi seorang dokter
untuk memperoleh izin praktik. Hal tersebut karena rumusan pasal a quo mengakibatkan
dokter yang telah lulus uji kompetensi (UKPMPPD) masih harus mendapatkan lagi
sertifikat kompetensi secara terpisah dari sertifikat profesi yang diperoleh
setelah lulus uji kompetensi.
Dalam
sidang perdana yang digelar pada 9 Februari 2017, Vivi Ayunita selaku kuasa
hukum Pemohon menyebut uji kompetensi seharusnya diselenggarakan oleh satuan
pendidikan yang terakreditasi sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2013 tentang Sisdiknas. Menurut Pemohon, tidak
dibenarkan kolegium dokter Indonesia yang dibentuk oleh IDI menyelenggarakan
uji kompetensi dan memberikan sertifikat kompetensi bagi lulusan Fakultas
Kedokteran karena tidak memenuhi persyaratan akreditasi.
“Lebih
lanjut, disebutkan pula pada Pasal 53 (UU Sisdiknas), penyelenggara dan satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah haruslah berbentuk badan hukum
pendidikan. IDI tidak berbentuk badan hukum pendidikan sehingga menurut Pemohon
dia tidak berwenang menyelenggarakan uji kompetensi,” terang Pemohon.
Makna Organisasi Profesi
Dalam
permohonan Nomor 10/PUU-XV/2017 tersebut, Pemohon juga mempersoalkan mengenai
makna “organisasi profesi” yang dinilai merugikan hak konstitusional Pemohon. Ketentuan
Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran dinilai mempersempit makna “organisasi
profesi” hanya untuk IDI. Sedangkan dalam lingkungan IDI, terdapat sejumlah
Perhimpunan Dokter Spesialis yang juga berhak disebut sebagai “Organisasi
Profesi”. Ketentuan demikian merugikan hak konstitusional sebagian para Pemohon
yang merupakan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis, karena membatasi hak
berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat sebagaimana diatur, dijamin dan
dilindungi oleh UUD 1945.
Pemohon juga
menilai IDI sebagai “medical association” seharusnya hanya berfungsi
sebagai serikat pekerja bagi dokter Indonesia. Sedangkan Kolegium dan Majelis
Kolegium Kedokteran adalah “academic body” bagi dokter Indonesia.
Kolegium yang dibentuk oleh organisasi profesi IDI maupun perhimpunan spesialis
tanpa melibatkan institusi pendidikan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum
karena adanya intervensi IDI terhadap independensi kolegium. Kolegium
Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13 UU Praktik
Kedokteran merugikan hak konstitusional Pemohon yang menambahkan terbinanya
profesionalisme dokter dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan masyarakat
yang akhirnya akan memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat
luas.
“Menurut
Pemohon ketentuan Pasal 1 angka 13 undang-undang a quo merugikan hak konstitusional Pemohon dan juga bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 31 ayat (1) UUD 1945,” jelas Vivi.
Rangkap Jabatan
Pemohon pun
mempersoalkan rangkap jabatan pengurus IDI yang juga menduduki posisi sebagai
komisioner KKI. Pemohon menilai hal tersebut sebagai akibat keberlakuan Pasal
14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran yang pada akhirnya juga merugikan hak
konstitusional Pemohon. Pasal tersebut, lanjut Vivi, mengakibatkan
ketidakpastian hukum sebagai akibat dari adanya potensi benturan kepentingan
antara pengurus organisasi profesi kedokteran (IDI) yang merangkap sebagai
komisioner pada KKI yang berfungsi sebagai regulator. Padahal, pengurus organisasi
profesi kedokteran (IDI) menjadi objek dari regulasi yang dibentuk, terlebih
lagi apabila komisioner tersebut adalah juga menjabat sebagai Ketua Umum
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
“Afiliasi
anggota KKI dalam organisasi profesi bahkan sebagai ketua umumnya dapat membuat
keputusan-keputusan KKI ini menjadi bias karena bagaimana pun juga organisasi
profesi akan mengedepankan kepentingan organisasinya yang dapat saja berbeda
atau bertentangan dengan kepentingan KKI sebagai regulator dalam menjamin
terciptanya pelayanan kesehatan yang bermutu, yang ditujukan untuk melindungi
kepentingan masyarakat penerima jasa pelayanan jasa kesehatan,” ujar Vivi.
Diakui Pemerintah
Menanggapi
permohonan Pemohon, Pemerintah diwakili oleh Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Kementerian Kesehatan Barlian menyebut makna “organisasi profesi” dalam bidang
kedokteran adalah IDI untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI)
untuk dokter gigi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik
Kedokteran. Penegasan ini, lanjut Barlian, dimaksudkan bahwa keduanya adalah
satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang diakui oleh Pemerintah melalui
undang-undang dengan tujuan untuk memudahkan pemerintah melakukan pembinaan,
pengawasan, pengenaan sanksi serta peningkatan mutu profesi dokter dan dokter
gigi, dalam kerangka melindungi kepentingan masyarakat.
“Adanya
perkembangan cara pandang masyarakat dan pemerintah terhadap kebebasan
berserikat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang ditandai oleh dinamika dalam
tubuh organisasi profesi kedokteran, menuntut adanya perubahan dalam memaknai
organisasi profesi, sehingga pada tahun 2013 pengertian organisasi profesi di
dalam Pasal 1 angka 20 UU Pendidikan Kedokteran dinyatakan “Organisasi
Profesi adalah organisasi yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran atau
kedokteran gigi yang diakui oleh Pemerintah”,” jelasnya dalam sidang yang berlangsung pada 24 Mei 2017.
Sementara
terkait sertifikat kompetensi, Barlian menyebut sebagaimana diatur dalam Pasal
1 angka 4 dan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU Praktik Kedokteran diberikan
oleh Kolegium kepada dokter yang akan berpraktik. Sedangkan, UU Pendidikan
Kedokteran mengatur tentang sertifikat profesi yang diberikan oleh perguruan
tinggi kepada lulusan baru dari program profesi dokter, sehingga kedua
ketentuan dari dua undang-undang tersebut tidak dapat dipertentangkan dan
bukanlah persoalan konstitusionalitas undang-undang.
“Pada
teknis implementasinya, peserta yang lulus UKMPPD/UKMP2DG akan mendapatkan
Sertifikat Profesi dari perguruan tinggi, dan secara otomatis mendapatkan
Sertifikat Kompetensi dari Organisasi Profesi tanpa ada ujian tambahan (hanya
ada persyaratan administratif saja). Hal ini merupakan bentuk harmonisasi dari implementasi
UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran,” terang Barlian.
Kepastian Hukum
Hal serupa
juga disampaikan oleh DPR yang diwakili Anggota Komisi III Teuku Taufiqulhadi
yang menyebut Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran telah tegas dan jelas menjabarkan
mengenai organisasi profesi dokter. Hal tersebut, lanjut Teuku, guna menjamin
kepastian hukum yang adil sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Kepastian ini diperlukan mengingat peran penting dan krusial dari organisasi
profesi yang diamanatkan oleh UU Praktik Kedokteran, di antaranya membentuk
kolegium, menetapkan dan menegakkan etika profesi, ikut dalam menyusun standar
pendidikan profesi, mengadakan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, membina
dan mengawasi kendali mutu dan kendali biaya, serta ikut dalam melakukan
pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran.
“Dengan
demikian, diperlukan kejelasan dan kepastian hukum akan organisasi profesi
untuk dokter dan dokter gigi sesuai dengan ketentuan pasal a quo agar pelaksanaan
tugas, fungsi, dan kewenangan organisasi profesi dapat dipertanggungjawabkan,”
terang Teuku dalam sidang yang digelar 17 Juli 2017 lalu.
IDI: Persoalan Internal
Sementara
IDI selaku Pihak Terkait menjelaskan Pemohon yang mengajukan pengujian
Undang-Undang a quo tidak mempunyai kerugian konstitusional karena pokok
permasalahan dan alasan-alasan yang diajukan dalam perkara pengujian
undang-undang a quo bukan permasalahan konstitusionalitas norma.
Diwakili Muhammad Joni selaku kuasa hukum, menjelaskan permohonan tersebut
merupakan persoalan teknis penerapan atau pelaksanaan norma. Tak hanya itu,
Joni menyebut pokok permohonan dan posita perkara a quo hanya merupakan
permasalahan penyelenggaraan internal organisasi IDI. “Kalau hendak disoal,
hemat Pihak Terkait, perlu dibawa dan diuji dalam ranah organisasi IDI dan
tidak dalam Muktamar IDI dan karenanya tidak terlalu jauh dan prematur jika
dibawa kepada Mahkamah Konstitusi,” jelas Joni pada sidang yang digelar 24 Mei
2017 lalu.
Dalam
keterangannya, Joni menyebut IDI sebagai organisasi profesi, bukan sebagai
serikat pekerja. Joni menjelaskan IDI merupakan organisasi yang menerima mandat
dalam penyelenggaraan praktik kedokteran sebagai bagian pelaksanaan Pasal 28H
ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Oleh karena itu,
IDI selaku organisasi profesi selain menjadi aktor dalam konteks
penyelenggaraan Pasal 28H ayat (1), juga mengemban pemenuhan kepentingan publik
(public interest on health) atas hak
kesehatan dan hak asasi manusia. Berbeda dengan pekerja biasa, profesi dokter
terikat pula dengan sumpah dokter. Dan bahkan, terkait pula dengan berbagai
ketentuan, baik itu ketentuan yang berdasarkan norma etik, norma disiplin, dan
juga norma hukum,” papar Joni.
Tidak Boleh Rangkap Jabatan
Setelah melalui serangkaian sidang,
Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Pemohon pada Kamis
(26/4). Mahkamah memutuskan anggota IDI tidak boleh rangkap jabatan dalam
kepengurusan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
“Mengabulkan permohonan para Pemohon
untuk sebagian. Menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan “Jumlah anggota Konsil
Kedokteran Indonesia 17 (tujuh belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang
berasal dari: (a) organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang; ...”
bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang unsur “organisasi profesi
kedokteran” tidak dimaknai sebagai tidak menjadi pengurus organisasi profesi
kedokteran,” ucap Anwar yang didampingi oleh hakim konstitusi lainnya.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Mahkamah berpendapat pengisian anggota KKI harus mempertimbangkan tugas KKI yang berpotensi bersinggungan dengan kepentingan institusi asal anggota KKI. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, lanjut Manahan, KKI memiliki tugas melakukan registrasi dokter sebagai dasar untuk menerbitkan STR, melakukan fungsi regulasi serta melaksanakan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran. Organisasi profesi dokter, dalam hal ini IDI, sebagai salah satu institusi asal anggota KKI memiliki keterkaitan erat dengan tugas-tugas yang diemban KKI khususnya dalam fungsi regulasi karena para dokter yang merupakan anggota IDI merupakan objek dari regulasi yang dibuat oleh KKI.
Di sisi lain, tambah Manahan, IDI sebagai organisasi profesi dokter juga merupakan salah satu institusi asal anggota KKI. Keadaan ini menimbulkan potensi benturan kepentingan (conflict of interest) dari sisi IDI sebab IDI bertindak sebagai regulator dalam menjalankan fungsi sebagai anggota KKI, pada saat yang sama juga menjadi objek regulasi yang dibuat oleh KKI tersebut. Oleh karena itu, sambungnya, untuk mencegah potensi benturan kepentingan tersebut, maka seyogianya anggota IDI yang duduk dalam KKI seharusnya adalah mereka yang bukan merupakan pengurus IDI untuk mencegah konflik kepentingan. Hal tersebut karena KKI memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi registrasi dokter sebagai dasar menerbitkan STR, fungsi regulasi yang terkait dengan profesi dokter, dan fungsi pembinaan. Pada sisi lain, organisasi profesi dokter adalah IDI karena itu keberadaan pengurus IDI pada KKI potensial menimbulkan konflik kepentingan terutama dalam perumusan regulasi. Hal ini, sambungnya, tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut,
dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas keanggotaan KKI dari
unsur pengurus organisasi profesi kedokteran, dalam hal ini IDI, dalam Pasal 14
ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran adalah beralasan menurut hukum,
sepanjang unsur “organisasi profesi kedokteran” tersebut tidak dimaknai tidak
merangkap jabatan sebagai pengurus IDI,” tegas Manahan.
Menjaga Kompetensi
Terkait
dalil Pemohon mengenai sertifikat kompetensi, Mahkamah menilai sertifikat
profesi (“ijazah dokter”) tidak dapat disamakan dengan sertifikat kompetensi
sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Sertifikat Profesi dan Sertifikat
Kompetensi, lanjut Manahan, adalah dua hal berbeda yang diperoleh pada tahap
berbeda sebagai syarat yang harus dipenuhi seorang dokter yang akan melakukan
praktik mandiri. Mahkamah telah mencermati fakta persidangan yang ada dan menilai
bahwa baik sertifikat profesi maupun sertifikat kompetensi merupakan upaya
untuk menjaga dan mendorong peningkatan kompetensi dan kualitas keilmuan dokter
sebagai komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Proses
uji tersebut akan memberikan penajaman dan peningkatan kompetensi sekaligus
pengakuan atas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi landasan
utama bagi dokter dalam melakukan tindakan medis.
“Dengan demikian, baik keberadaan
sertifikat profesi maupun sertifikat kompetensi serta persyaratan untuk
resertifikasi karena dimaksudkan untuk menjaga kompetensi dan kualitas keilmuan
seorang dokter yang tujuan akhirnya adalah untuk melindungi masyarakat maka
dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 4, Pasal 29 ayat (3) UU
Praktik Kedokteran, serta Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) UU Pendidikan
Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Tidak
Beralasan Hukum
Sementara terkait organisasi profesi,
Mahkamah menilai undang-undang memungkinkan masing-masing kelompok tenaga
kesehatan membentuk kolegium berdasarkan disiplin ilmu masing-masing. Dalam
struktur IDI pun berdasarkan AD/ART IDI kolegium-kolegium yang berhimpun dalam
Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan salah satu unsur dalam struktur
kepengurusan IDI di tingkat pusat yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan
pengaturan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran. Manahan
melanjutkan Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi
Indonesia merupakan unsur dalam IDI sebagai organisasi profesi kedokteran yang
bertugas mengampu cabang disiplin ilmu masing-masing. Oleh karena itu, IDI
dalam hal ini berfungsi sebagai rumah besar profesi kedokteran yang di dalamnya
dapat membentuk kolegium-kolegium untuk melaksanakan kewenangan tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan AD/ART IDI.
“Penghapusan frasa “organisasi
profesi” dalam ketentuan a quo menghilangkan unsur pembentuk kolegium
yang adalah para dokter sendiri berdasarkan disiplin masing-masing yang pada
akhirnya juga berhimpun dalam MKKI sebagai salah satu unsure pimpinan pusat
IDI. Atas dasar pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon
tidak beralasan menurut hukum,” tandas Manahan. (Lulu Anjarsari)
Komentar
Posting Komentar